1).
Pengertian Tekstil
Tekstil adalah material fleksibel
yang terbuat dari tenunan benang. Tekstil dibentuk dengan cara penyulaman, penjahitan,
pengikatan, dan cara pressing. Istilah tekstil dalam pemakaiannya
sehari-hari sering disamakan dengan istilah kain. Namun ada sedikit
perbedaan antara dua istilah ini, tekstil dapat digunakan untuk menyebut bahan
apapun yang terbuat dari tenunan benang, sedangkan kain merupakan
hasil jadinya, yang sudah bisa digunakan.
Sejarah
Perkembangan Tekstil di Indonesia
SEJARAH PERTEKSTILAN INDONESIA secara pasti sejak kapan awal
keberadaan industri TPT di indonesia tidak dapat dipastikan, namun
kemampuan masyarakat Indonesia dalam hal menenun dan merajut pakaiannya sendiri
sudah dimulai sejak adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia dalam bentuk
kerajinan, yaitu tenun-menenun dan membatik yang hanya berkembang disekitar
lingkungan istana dan juga ditujukan hanya untuk kepentingan seni dan budaya
serta dikonsumsi/digunakan sendiri.
Sejarah pertekstilan Indonesia dapat dikatakan dimulai dari industri
rumahan tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan (weaving) dan perajutan
(knitting) dengan menggunakan alat Textile Inrichting Bandung
(TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin
(ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan produknya berupa
tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen (sabuk), dan
selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun Mesin (ATM) yang
pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa Barat, dimana di daerah
tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Dan sejak itu industri TPT
Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan menggunakan ATM.
Tahun 1960-an, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin, pemerintah
Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) yang antara lain
seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS Perajutan; OPS Batik; dan lain
sebagainya yang dikoordinir oleh Gabungan Perusahaan Sejenis (GPS) Tekstil
dimana pengurus GPS Tekstil tersebut ditetapkan dan diangkat oleh Menteri
Perindustrian Rakyat dengan perkembangannya sebagai berikut:
Pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama
OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub-sektornya, yaitu
pemintalan (spinning); pertenunan (weaving); perajutan (knitting); dan
penyempurnaan (finishing).
Menjelang tahun 1970, berdirilah berbagai organisasi seperti
Perteksi; Printer’s Club(kemudian menjadi Textile Club); perusahaan
milik pemerintah (Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng,
Pinda Sandang Jatim), dan Koperasi (GKBI, Inkopteksi).
Tanggal 17 Juni 1974, organisasi-organisasi tersebut melaksanakan
Kongres yang hasilnya menyepakati mendirikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia
(API) dan sekaligus menjadi anggota API.
Fase Perkembangan Industri Tekstil
di Indonesia
Tahun 1970-an industri TPT Indonesia mulai
berkembang dengan masuknya investasi dari Jepang di sub-sektor industri hulu
(spinning dan man-made fiber making). Adapun fase perkembangannya
sebagai berikut:
1. Periode 1970 –
1985, industri tekstil Indonesia tumbuh lamban serta terbatas dan hanya mampu
memenuhi pasar domestik (substitusi impor) dengan segment pasar
menengah-rendah.
2. Tahun 1986,
industri TPT Indonesia mulai tumbuh pesat dengan faktor utamannya adalah: (1)
iklim usaha kondusif, seperti regulasi pemerintah yang efektif yang difokuskan
pada ekspor non-migas, dan (2) industrinya mampu
memenuhi standard kualitas tinggi untuk memasuki pasar ekspor
di segment pasar atas-fashion.
3. Periode 1986 – 1997
kinerja ekspor industri TPT Indonesia terus meningkat dan membuktikan sebagai
industri yang strategis dan sekaligus sebagai andalan penghasil devisa negara
sektor non-migas. Pada periode ini pakaian jadi sebagai komoditi primadona.
4. Periode 1998 – 2002
merupakan masa paling sulit. Kinerja ekspor tekstil nasional fluktuatif. Pada
periode ini dapat dikatakan periode cheos, rescue, dan survival.
5. Periode 2003 – 2006
merupakan outstanding rehabilitation, normalization,
dan expansion (quo vadis?). Upaya
revitalisasi stagnant yang disebabkan multi-kendala, yang antara lain
dan merupakan yang utama: (1) sulitnya sumber pembiayaan, dan (2) iklim usaha
yang tidak kondusif.
6.
Periode 2007 pertengahan – onward dimulainya
restrukturisasi permesinan industri TPT Indonesia.
2).Contoh Kerajian Tekstil
Contoh kerajinan teksil salah
satunya Batik. Batik bisa dibuat menjadi kerajinan tekstil lainnya seperti
baju, celana, rok, tas, sprei, selendang, dan lain – lain.
3). Sumber Daya Kerajinan Tekstil
Batik
Sumber daya kerajinan batik adalah :
Kain
Kain yang biasa dijadikan kain batik adalah kain putih yang disebut kain
mori, atau nama lainnya adalah muslim atau cambric. Kain mori dapat berasal
dari katun, sutera asli atau tiruan, namun katun lebih banyak digunakan.
Lilin
Lilin adalah bahan batik yang digunakan untuk menutupi permukaan kain
yang tidak diwarnai sesuai ragam hiasnya. Sebelum menggunakan lilin pembatik
sempat menggunakan bubur ketan. Setelah diketemukannya lilin, bubur ketan tidak
digunakan lagi.
Zat Pewarna atau Cat Batik
Tidak semua pewarna tekstil dapat
digunakan untuk mewarnai batik karena sifat khusus batik. Batik tidak dapat
dipanaskan pada saat pewarnaan karena akan melarutkan lilin. Lilin batik tidak
kuat terhadap alkali. Sebaliknya, tidak semua pewarna tahan terhadap rebusan
air pada saat pengelupasan lilin. Oleh karena sifatnya yang khusus ini maka
pewarna batik harus dipilih yang sesuai dengan proses pewarnaan batik yang
khas.
Pewarna batik terdiri dari 2 jenis :
a.
|
Pewarna dari bahan alami, didapat dari bagian-bagian tumbuhan seperti
akar, batang, kayu, kulit, daun dan bunga, atau dari getah buang (Lac Dye)
binatang. Contohnya antara lain: daun pohon nila, kulit pohon soga tinggi,
kunir, daun teh, blendok trembalo (getah buang kutu Tachardia Iacca yang
hidup di pohon kesambi).
|
b.
|
Pewarna sintetis/buatan. Merupakan pewarna yang dapat digunakan dalam
suhu yang tidak merusak lilin, yang termasuk golongan pewarna tersebut
adalah: indigo, indigosol, naptol dan rapid, cat soga, cat basis, cat
Indanthreen, cat belerang dan procion dingin (cat kreatif).
|
Zat
Pembantu :
Yang
dimaksud dengan zat adalah zat – zat yang digunakan sebagai penyempurnaan
proses pembatikan, yaitu antara lain : caustic soda, soda abu, TRO (Turkish Red
Oil), teepol, asam chloride, asam sulfat, tawas, obat ijo/ air ijo dan minyak
kacang.
4). Proses Produksi Batik :
1. Kain putih yang
akan dibatik dapat diberi warna dasar sesuai selera kita atau tetap berwarna
putih sebelum kemudian di beri malam.
2. Proses pemberian malam ini dapat menggunakan
proses batik tulis dengan canting tangan atau dengan proses cap. Pada bagian
kain yang diberi malam maka proses pewarnaan pada batik tidak dapat masuk
karena tertutup oleh malam (wax resist).
3. Setelah diberi
malam, batik dicelup dengan warna. Proses pewarnaan ini dapat dilakukan
beberapa kali sesuai keinginan, berapa warna yang diinginkan.
4. Jika proses
pewarnaan dan pemberian malam selesai maka malam dilunturkan dengan proses
pemanasan.
5. Batik yang telah
jadi direbus hingga malam menjadi leleh dan terlepas dari air. Proses perebusan
ini dilakukan dua kali, yang terakhir dengan larutan soda ash untuk mematikan
warna yang menempel pada batik, dan menghindari kelunturan.
6. Setelah perebusan
selesai, batik direndam air dingin dan dijemur.
5). Profil Kewirausahaan Kerajinan Tekstil Batik
Kegetiran hidup
tak menyurutkan perjuangan Naomi Susilowati Setiono dalam menjalani
kesehariannya. Dengan berapi-api, wanita sederhana ini menuturkan kisah
hidupnya yang diawali sebagai tukang cuci baju, pemotong batang rokok, kernet
bus
antarkota, dan akhirnya menjadi pengusaha serta
perajin batik lasem.Semua ini karena kebaikan Tuhan, ujarnya mensyukuri perbaikan hidup yang dialaminya. Meski bukan pengusaha desainer batik nomor wahid di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, perempuan peranakan Tionghoa ini sangat terkenal di dunia per desainer batikan, khususnya desainerbatik lasem. Hingga tak heran, rekan-rekannya memintanya untuk menjadi ketua cluster batik lasem, yang hingga kini belum diberi nama. Dalam waktu dekat, cluster ini akan dinamai menjadi semacam asosiasi perajin/ pengusaha batik lasem.
Jenis batik lasem (atau laseman) yang perkembangannya jauh tertinggal dibanding batik solo dan yogya ini terus digeluti, meski masih menggunakan peralatan tradisional. Naomi yang memimpin Batik Tulis Tradisional Laseman Maranatha di Jalan Karangturi I/I Lasem, Rembang, ini mengerahkan 30 perajin guna mendukung usahanya.
Selain mengemban status single parent, Naomi terkenal aktif sebagai pendeta di gereja setempat. Bahkan, akhir-akhir ini ia disibukkan dengan mengisi seminar maupun pemaparan ke berbagai instansi mengenai seluk-beluk batik lasem.
Ia juga tengah merintis pengaderan perajin batik ke sekolah-sekolah secara gratis. Kalau tidak kami sendiri yang mengader, siapa lagi? Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, ujarnya.
Naomi mengaku pernah melontarkan gagasannya kepada Bupati Rembang Hendarsono (saat itu) untuk menyisipkan cara membatik ke dalam pelajaran muatan lokal. Sayangnya, ide ini tak ditanggapi dan dianggap tidak bisa berhasil.
Akhirnya, ia langsung turun ke sekolah-sekolah untuk menyampaikan gagasannya itu. Kini, ia masih menunggu tanggapan dari sekolah-sekolah. Jika masalah tempat, saya bisa meminjam balai desa, tak perlu keluar uang, ujarnya.
Meski sangat sibuk, produktivitasnya tak berubah. Setiap bulan Naomi dan rekan-rekan pekerja di tempatnya menghasilkan rata-rata 150 potong batik tulis. Batik-batik bermotif akulturasi budaya Cina dan Jawa ini dikirim ke berbagai daerah, seperti Serang (Banten), Medan (Sumut), dan Surabaya (Jatim).
Naomi menjelaskan, usaha batik yang digeluti sejak tahun 1990 ini merupakan limpahan dari orangtua. Namun, ia tidak semata-mata menerima begitu saja.
Pada tahun 1980, lulusan Sekolah Menengah Apoteker Theresiana Semarang ini mendapatkan masalah sehingga dikucilkan dari keluarga yang saat itu terpandang di wilayahnya. Ditolak dari keluarga yang telah mengasuhnya 21 tahun itu mau tak mau harus diterimanya. Ia pun pindah ke Kabupaten Kudus.
Di tempat ini ia menyingsingkan lengan baju dan bekerja sebagai pencuci pakaian. Tergiur penghasilan yang lebih tinggi, ia pindah sebagai buruh pemotong batang rokok di Pabrik Djarum Kudus.
Karena kurang cekatan, ia hanya mendapatkan penghasilan yang sedikit, Rp 375 per hari. Padahal teman-teman dapat memotong rokok berkarung-karung, bisa mendapat uang Rp 2.000-an, ujar lulusan Sekolah Tinggi Theologia Lawang, Jatim, ini.
Ia hengkang dan berpindah sebagai kernet bus Semarang-Lasem. Singkat cerita, orangtuanya memintanya kembali ke Lasem. Itu pun dengan berbagai cemooh. Saya ditempatkan di bawah pembantu. Mau minta air dan makan ke pembantu. Saya juga tidak boleh memasuki rumah besar, ujarnya.
Perlakuan ini ia terima dengan lapang dada. Sedikit demi sedikit ia mempelajari cara pembuatan batik lasem. Mulai dari desain, memegang canting, melapisi kain dengan malam, hingga memberi pewarnaan diperhatikannya dengan saksama.
Hingga suatu hari, tahun 1990, orangtuanya memutuskan tinggal dengan adik-adiknya di Jakarta. Usaha batik tidak ada yang meneruskan. Dari titik inilah Naomi dipercaya untuk melanjutkan usaha batik warisan turun-temurun ini.
Kesempatan ini digunakan Naomi untuk mengubah sistem dan aturan main bagi pekerjanya. Ia memberi kesempatan kepada perajin untuk menunaikan ibadah shalat. Sesuai kewajiban yang ingin mereka jalankan, saya memberikannya. Ini salah satu sistem baru yang saya terapkan, ujarnya yang pernah bercita-cita sebagai arkeolog.
Suasana kerja juga bukan lagi atasan dan bawahan. Ia menganggap perajin adalah rekan usaha yang sama-sama membutuhkan dan menguntungkan. Jika siang hari turun tangan dalam memproses batik, malam hari digunakannya untuk membuat desain.
Hingga kini, ibu dari Priskila Renny (23) dan Gabriel Alvin Prianto (17) ini masih tetap eksis di dunia perbatikan. Perlahan namun pasti, batik lasem mulai menggeliat dan dilirik kembali oleh para pencinta batik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. TI, Ichwan Susanto, Kompas, 23 Januari 2006.
0 komentar:
Posting Komentar